Title : Story Of My Life Chapter 07
Author : Rena-chan
Genre : Gender-bender, Sad, Family, Love,
Main cast :
- Shimazaki Haruka
- Shimazaki Atsuko
- Shimazaki Mayu
- Shimazaki Sakura
Support Cast :
- Matsui Rena
- Takahashi Kai
- Yokoyama Yui
- And Others
Happy Reading All...
~---0---~
~---0---~
Paruru
Pov...
Aku
mencoba berdiri dari tempatku duduk. Kenapa tubuhku sangat lelah seperti ini,
setelah aku mendapat mimpi itu?. Benar-benar sial. Kenapa aku harus seperti
ini, tuhan. Sudahlah, mungkin dengan aku makan, aku bisa sedikit membaik dan
tubuhku tidak bergetar seperti ini.
Setelah
sampai di pintu, aku membuka pintu itu. Ketika aku ingin melangkah, justruh
langkah kakiku tertahan. Aku melihat seorang disana. Yah... itu ibuku. Ibu
kandungku. Tapi, aku takut dengan tatapan matanya. Dia menatapku sangat tajam
dan itu membuatku benar-benar sangat takut. Aku tidak ingin melihat mata itu,
lebih baik aku menunduk.
Sejenak,
aku mendengar ibu menghela nafas. Ada apa dengan ibu? Apa aku melakukan
kesalahan lagi?. Tapi, apa? Apa jangan-jangan ada hubungannya dengan kemarin?.
"Apa
yang kau lakukan pada putriku, Atsuko?" sial, ternyata benar.
"Kenapa
dia bisa sampai membelamu daripada aku dan ayahnya, apa yang kau lakukan?"
kepalaku terdongak, karena ibuku memegang daguku.
Ku
tatap matanya yang tajam. Aku takut, tubuhku bergetar. Tapi, aku tidak bisa
lepas dari ibu. Apa yang harus aku lakukan?. Aku tidak pernah melakukan apa-apa
terhadap nee-chan.
"Apa
yang kau lakukan?" ibu membentakku. Ini pertama kalinya, setelah sekian
lama aku tidak pernah berbicara dengannya.
"Apa
kau bisu? Sampai kau tidak membalas ucapanku?" mulutku bergetar. Aku tidak
tahu apa yang harus aku lakukan. Menjawab seperti apa, aku juga tidak tahu.
"JAWAB"
tuhan, aku tidak kuat. Aku takut. Kenapa aku harus mendapat bentakan seperti
ini?. Dan sekarang, kepalaku sangat sakit.
"Kenapa
kau hanya diam seperti itu?" aku tidak kuat ibu. Ibu tidak tahukah kau,
aku sudah bergetar seperti ini. Apa ibu tidak merasakan jika putrimu ini sedang
ketakutan?.
"Jawab
Haruka" ku tahan air mataku agar tidak keluar.
"A-a-ku
ti-ti-da-dak me-me-la-la-ku-ku-ka-kan a-a-pa-a-a-pa pa-pa-da ne-nee-chan"
balasku dengan susah payah.
"Dan
aku harus percaya percaya begitu saja padamu? Tidak akan pernah, Haruka"
lolos. Air mataku lolos begitu saja, keluar dari kedua mataku.
"Pe-per-cu-cu-ma
a-a-ku me-men-ja-ja-wa-wab-nya, ji-ji-ka i-i-bu ti-ti-da-dak per-ca-ca-ya
pa-pa-da-da-ku" tuhan, nafasku sudah sangat sesak.
"Kau
sudah berani melawanku?" aku mengambil nafas terlebih dahulu.
"I-Iie"
singkatku.
"Lal,-"
"Okasan"
ibu melepas tangannya dari daguku.
Aku
menoleh. Melihat seorang gadis yang tidak lain dan tidak bukan, adalah kakakku
sendiri. Dia berjalan dan langsung memegang kedua pundakku.
"Apa
yang ibu lakukan pada adikku?" aku mendongak melihat wajah kakakku yang
datar.
"Hah....
Atsuko, tidak bisakah jika kau tidak membela gadis ini?" tunjuk ibuku
tepat di wajahku.
"Ibu,
Haruka itu adalah adikku. Jadi, aku berhak membelanya" nee-chan
memelukku.
"Atsuko,
ibu yakin kau masih ingat kata-kata ayahmu dulu tentang dia untuk menjauhi
gadis ini" mata ibu semakin tajam menatap nee-chan.
"Kata-kata
yang mana? Aku tidak ingat, ibu. Yang aku pedulikan sekarang hanya adikku, yang
sangat ku sayangi. Aku tidak bisa meninggalkannya larut dalam kesedihan
sendiri" suasana menjadi tegang seketika.
"Haruka"
aku kembali melihat kakak.
"Lebih
baik, kau mandi dulu sana. Nanti, nee-chan akan mengantarmu ke tempat kerjamu,
seperti biasa ne?" aku mengangguk.
Langsung
ku tinggalkan mereka untuk menuju kamar mandi yang berada di belakang. Aku
memang selalu memakai kamar mandi itu.
***
Atsuko
Pov....
Aku
melihatnya yang melangkah tertatih menuju kamar mandi. Setelah bayang-bayang
adikku sudah tida terlihat. Aku menoleh melihat ibu yang menatapku tajam. Aku
hanya memasang wajah datar pada ibu. Aku tidak suka, jika adikku harus merasa
tertekan atau ketakutan.
"Ibu,
aku harap ibu tidak menganggu Haruka lagi" aku langsung berbicara.
"Kau
lebih membela gadis tidak tahu diri itu di bandingkan ibumu sendiri,
Atsuko?" aku tersenyum sinis melihatnya.
"Ibu,
apa ibu bisa di anggap seorang ibu? Jika, ibu saja masih memperlakukan anak
yang ketiga ibu seperti itu" aku membalasnya saja dengan cara menekan
pertakaanku. Tidak peduli juga, dia ibuku.
Aku
hanya tidak suka dengan sifat ibu. Ibu seperti tidak pernah mengakui Haruka,
dan sering kali juga Sakura dan Mayu mengusili Haruka. Aku tidak ingin semua
itu terjadi lagi.
"Dia
bukan anak ibu, kau mengerti Atsuko" lihat, dia sama sekali tidak mengakui
anaknya sendiri.
"Wow....
ada juga ya ternyata, seorang ibu tidak mengakui putrinya sendiri. Aku tidak
menyangka" ucapku di iringi tawa kecil.
"Lalu,
jika dia bukan anak ibu, kenapa delapan belas tahun yang lalu, dia lahir dari
rahim ibu. Dan aku menjadi saksi atas lahirnya Haruka, di kamar ibu aku melihat
semua itu. Walau dari balik pintu sekaligus. Ibu masih ingat bukan?" sial,
rasanya sakit sekali. Sesak juga nafasku.
"Silahkan
pergi dari kamar adikku, sekarang. Aku tidak ingin melihat adikku menderita
gara-gara ibunya sendiri. Biar aku saja yang merawatnya" ku kepalkan kedua
tanganku untuk meredam emosiku yang hampir saja meluap.
"Ingat
Atsuko, dia akan mendapat akibanya lihat saja nanti" sial, justruh ibu
mengancamku.
"Lakukan
saja. Aku pastikan, jika aku akan menjaganya. Aku akan melakukan apapun untuk
adikku" kembali aku memasang wajah datarku.
"Lihat
saja, dia akan pergi dari kehidupan kita Atsuko. Kau akan menyesal
nantinya" aku menggeleng.
"Aku
tidak akan pernah menyesal, karena di pihak adikku sendiri, okasan"
balasku kemudian.
Aku
tahu ini sudah kelewatan. Aku melawan ibuku sendiri. Tapi, ibu juga yang salah.
Dia yang terlebih dahulu, tidak mengakui anaknya sendiri. Ibu mana yang tega
melakukan hal seperti itu. Aku benar-benar tidak percaya, dengan jalan pikiran
ibu.
"Baik,
ibu akan pastikan itu Atsuko. Lihat permainan akan segera di mulai, kalian
berdua, sedangkan ibu bersama ayahmu dan kedua adikmu Mayu dan Sakura" aku
tersenyum meremehkan.
"Siapa
juga yang berdua ibu, aku masih ada temanku yang lain. Teman setia yang
menerima adikku di banding keluarganya sendiri" ku tatap kedua tangannya
yang mengepal.
Kemudian
ia pergi begitu saja, tanpa meninggalkan kata-kata lagi kepadaku. Sial, jika
bukan karena Haruka aku tidak akan seperti ini.
Tak
lama setelah kepergian ibu, ku lihat Rena yang datang menghampiriku. Dia
menoleh sejenak ke arah belakang dan kemudian melanjutkan langkahnya dan
berhenti tepat di depanku.
"Kau
kenapa, Rena?" tingkahnya membuatku bingung.
"Jujur
nona, aku tadi mendengar ucapan kalian" dia menguping. Tidak masalah juga,
sih.
"Maaf
jika aku sudah lancang. Namun, setelah aku mendengar semuanya. Aku merasa
mendapat firasat buruk, nona" aku menatapnya dengan mata membulat.
"Maksudmu?"
tanyaku memastikan.
"Seperti
yang nona tahu, keluarga nona tidak menganggap nona Haruka sama sekali. Aku
takut, jika tuan besar dan nyonya akan melakukan tindakan hal yang nekat"
katanya menjelaskan.
"Memisahkan
nona dengan nona Haruka" aku menggeleng. Aku tidak ingin berpisah
dengannya.
"Aku
tidak ingin dia pergi dariku, Rena" balasku.
"Aku
punya rencana" aku tersenyum dan menatapnya.
"Apa?"
aku mendekat dan berbisik ketelinganya.
"Mengerti?"
dia mengangguk.
***
Author
Pov...
Paruru
masuk ke dalam toko lukisan itu. Dia menolehkan pandangannya ke arah kanan dan
kiri, ia tidak menemukan Yui sama sekali. Dan dia hanya melihat Fuuko dan Natsumi
yang tengah bekerja di sana.
"Oy...
Haruka" dia menoleh dan menemukan Fuuko yang memanggilnya.
"Na-na-ni?"
tanyanya sambil tertatih mendekati gadis itu.
"Kau
kerja sini, daripada kau diam seperti itu" Fuuko menatap gadis itu tajam.
"Fuuko,
ku rasa kau masih ingat dengan perkataan tuan Yui" mereka menoleh melihat
Natsumi.
"Cih...
kau selalu saja menjadi sok pahlawan" Fuuko berkata dengan ketus.
"Nona
Haruka, lebih baik kau menunggu tuan Yui di dalam ruangannya. Tuan sedang
berada di perjalanan, dia telat hari ini" Haruka mengangguk mengerti.
"Tidak,
dia harus bekerja menggantikanku" Fuuko masih saja keras kepala.
"IIe.
Apa kau mau, jika aku memberi tahu semua kelakuanmu pada tuan Yui dan kakaknya?
Ku rasa mereka akan memecatmu" Fuuko mengepalkan kedua tangannya ketika
mendengar perkataan teman kerjanya itu.
"Kau
selamat" Fuuko menatap datar Haruka.
"Shimazaki
Haruka" mereka menoleh dan menemukan seorang pemuda yang sekarang
melangkah menghampiri mereka. Lebih tepatnya Paruru.
"J-Jun-k-kun"
Paruru tersenyum menyapa pemuda itu.
"Dimana
Yui?" tanya Jun langsung.
"Tuan
sedang berada di perjalanan, mungkin sebentar lagi dia akan sampai" balas
Natsumi.
Tepat
ketika pertanyaan Jun yang di jawab Natsumi, Yui masuk ke dalam tokonya. Ia
mendekat dan menyapa Paruru, Jun serta kedua bawahannya.
"Jun,
kau sudah datang?" pemuda itu mengangguk.
"Nee...
Paruru, ayo kita ke dalam" Paruru mengangguk.
Dengan
bantuan Yui, gadis itu berjalan masuk ke dalam ruangan Yui. Di belakang Jun
mengekor. Mereka duduk di tempat biasa.
"Nee...
Haruka, apa kau sudah bisa melakukan apa yang aku pinta kemarin?" gadis
itu menggeleng lemah.
"Baiklah,
jangan bersedih masih banyak waktu, ne?" gadis itu mengangguk.
"Ta-ta-pi
ku-ku-ra-ra-sa a-a-ku me-mem-pu-pu-nya-nyai ma-ma-sa-sa-lah" kata Paruru.
"Masalah
apa?" Yui langsung bertanya setelah Paruru mengatakan seperti itu.
"J-Jun-k-kun,
pe-per-nah bi-bi-la-lang, ji-ji-ka ga-ga-gap bi-bi-sa sa-sa-ja ka-ka-re-re-na
tra-tra-uma" Jun mengangguk.
"Iya
memang, apa karena trauma kau gagap Haruka?" Jun kemudian bertanya.
"Ke-ke-mu-mung-ki-ki-na-nan"
balasnya singkat.
"Apa
yang terjadi, apa kau memang mempunyai trauma di masa lalumu?" Paruru
mengangguk dengan pertanyaan Yui.
"Trauma
apa itu?" tanya Yui lagi.
Paruru
menghela nafasnya sejenak. Ia kembali mengingat kejadian tadi pagi, lebih
tepatnya mimpi yang mendatanginya tadi pagi. Seperti sebuah jawaban, kenapa dia
menjadi gagap seperti itu. Ketakutan. Kondisi yang paling tidak pernah ia
sukai.
"Ke-ke-ta-ta-ku-ku-ta-tan"
Paruru berkata singkat.
"A-a-ku
tra-tra-u-ma de-de-ngan ke-ke-ta-ta-ku-ku-tan" kata Paruru lagi.
"Takut
ya?" Paruru mengangguk.
"Lebih
tepatnya ketakutan atau trauma?" Paruru kembali berfikir.
"Mu-mung-ki-kin
du-dua-du-dua-nya" kata Paruru membalas.
"Jika
kau ingin, aku akan memberimu obat dan berterapi. Lebih tepatnya terapi
berbicara, bagaimana?" Paruru menunduk. Terapi? Obat? Biayanya dia dari
mana?
"Tenanglah,
Atsuko sudah menanggung semua biayamu padaku" Paruru kembali
mendongak.
"Tapi,
aku tekankan kau selalu mengingat masa lalumu. Dan selalu berbicara jangan jadi
pendiam, dan selalu percaya diri. Bagaimana?" Paruru mengangguk.
***
Rena
meletakkan beberapa gelas di tempatnya. Ia baru saja selesai mencuci piring dan
gelas yang tadi di pakai untuk makan malam. Ia melihat jam, pukul 8 malam.
Biasanya, jika bukan jam seperti ini, Atsuko dan Paruru pasti pulang jam 9
malam. Entah apa yang kedua kakak adik itu lakukan di luar sana. Namun, Rena
yakin mereka pasti baik-baik saja dan melakukan hal yang positif.
"Iya
kita harus melakukannya" samar-samar ia mendengar suara.
Rena
menoleh. Ia melihat dari pintu dapur. Tuan Shimazaki dan istrinya. Mereka
tengah berbicara sesuatu ternyata. Rena memasang kuping baik-baik. Tapi,
sayangnya ia melihat kedua sepasang suami istri itu masuk ke dalam
ruangan.
Rena
melangkah dan berhenti tepat di pintu ruangan itu. Ia ingin tahu apa yang
tengah di bicarakan oleh suami istri itu. Entah kenapa, ia sangat yakin jika
mereka tengah membicarakan masalah keluarga mereka. Haruka, lebih tepatnya.
"Lalu,
kapan kiranya kita melakukan itu?" tanya sang istri.
"Nanti
malam, ketika anak-anak kita terutama Atsuko sudah tertidur lelap. Dan kita
suruh bodyguard kita untuk menculik Haruka dan membuangnya ke luar kota"
Rena terbelalak. Ia menutup mulutnya tidak percaya.
Ia
kembali. Itu sudah cukup untuk ia dengar. Dan setelah ia berada di dapur, ia
mendengar suara mobil. Atsuko, tidak salah lagi pasti gadis itu. Ia berjalan
dengan langkah santai, agar tidak ada yang curiga dengannya.
Ia
membuka pintu dan menemukan Atsuko tengah berjalan sambil membimbing adiknya.
Rena menoleh, ia memastikan agar tidak ada yang melihat mereka.
"Nona"
Atsuko mendongak.
"Rena,
ada apa?" tanyanya tersenyum.
Rena
mendekat dan berbisik di telinga gadis itu. Tak lama, setelah Rena berbisik.
Wajah Atsuko terlihat marah, kedua tangannya mengepal. Keterlaluan. Dia
berbisik dalam hati.
"Kita
harus melakukan sesuatu nona" Atsuko mengangguk.
"Kau
benar" kata Atsuko menyetujui.
"Siapkan
barang-barangmu dan Haruka, aku akan mengambil tas di kamar tanpa sepengetahuan
ayah dan ibu. Malam ini juga, kita pergi" Rena mengangguk mendengarnya.
"Baik
nona" kata Rena.
"Paruru,
kau sembunyi di mobil ya?" kata Atsuko menyuruh.
"A-a-da
a-a-pa ne-nee-chan?" tanya Paruru bingung.
"Nanti,
akan aku ceritakan. Sekarang, kau masuk dulu ke mobil dan bersembunyi jangan
sampai ada yang melihatmu di mobilku" Paruru mengangguk.
***
Atsuko
Pov...
Sial,
sial, sial, sial. Benar-benar sangat sial. Aku mengambil bajuku dan
memasukkannya ke tas koperku. Aku tidak menyangka jika ibu dan ayah akan
benar-benar melakukan hal seperti itu. Sial. Sudah berapa kali, aku mengatakan
sial karena masalah ini.
Setelah
selesai, aku langsung keluar dan menoleh memastikan ke arah kanan dan kiri.
Aman. Syukurlah. Ku langkahkan kakiku dan membawa serta koperku. Aku tahu, jika
jam seperti ini pasti semua akan di kamar.
Aku
tahu mereka masih belum tidur, mungkin menungguku agar aku tidur. Tapi, aku
akan membuat mereka terbengong. Oh... ayolah ayah ibu, kita akan bermain-main
seperti apa kata ibu. Benar bukan?. Aku tidak akan membiarkan kalian membuang
adikku.
Sampai
di bawah, aku menemukan Rena dan menyuruhnya langsung keluar. Aku keluar
setelah aku memastikan tidak ada orang yang melihatku dan Rena. Semua aman. Ku
tutup pintu itu, kemudian aku dan Rena melangkah dan masuk ke mobil.
"Haruka"
panggilku dan dia menampakan wajahnya.
"Syukurlah
sayang, kau masih ada disini. Kita pergi dari sini, ya?" dia mengangguk.
Ku
masukkan koperku dan kemudian, aku dan Rena masuk ke dalam mobil. Waktunya
untuk kabur dari rumah. Sial, belum pernah aku melakukan hal ini. Tapi, tidak
apalah demi adikku. Ku nyalakan mesin mobil dan dengan pelan keluar dari area
halaman rumah.
Hah....
syukurlah, aku bisa lepas juga dari rumah yang di penuhi seperti neraka itu. Ku
tolehkan pandanganku menatap Haruka yang duduk di sampingku. Aku tersenyum
melihatnya. Ku ambil ponsel dan mengetik nomer seseorang.
"Yuki,
kau di rumah?" tanyaku langsung.
"Baik,
aku kesana ya. Nanti aku ceritakan semuanya yang terjadi" lanjutku.
"Terima
kasih" balasku singkat.
***
Dan
kini aku dan Haruka serta Rena berada di rumah Yuki. Aku sudah menceritakan
semuanya pada Yuki. Dan dia terlihat kesal mendengarnya. Dia sungguh tidak percaya
dengan apa yang akan di lakukan keluargaku.
Disini
pun ada Kai dan juga Yui, aku meminta mereka untuk kemari. Aku meminta mereka
juga, untuk merahasiakan semua ini pada keluargaku. Masalah Jun, aku sudah
menelponnya. Dan dia akan selalu sering ke rumah Yuki, untuk mendatangi adikku.
"Baiklah,
mulai sekarang kalian bisa tinggal bersamaku. Lagi pula, aku sendiri
disini" ku dengar Yuki yang membalas ucapanku.
"Arigatou"
dia mengangguk.
"Aku
tidak menyangka jika keluargamu akan melakukan hal seperti itu, Acchan"
aku mengangguk membenarkannya.
"Aku
juga Yuki, aku benar-benar pusing dengan masalah ini" balasku lagi.
"Jangan
khawatir, aku juga akan menjaga Haruka, Acchan" aku tersenyum mendengar
ucapan Kai.
"Aku
juga nee-chan" aku kembali tersenyum mendengar ucapan Yui.
"Arigatou
Kai, Yui" mereka mengangguk.
***
Author
Pov...
Seorang
lelaki membuka pintu yang menghubungan sebuah kamar kecil. Ia melangkah dan
menemukan sosok yang tertutup oleh selimut.
"Cepat
bawa dia" kata orang itu menyuruh.
Mereka
membuka selimut itu. Namun, bukan orang yang mereka lihat namun sebuah kayu
panjang dan itu berhasil membuat orang itu geram.
"Sial
kemana gadis itu?" geram orang itu.
"Apa
mungkin mereka kabur, tuan?" kata salah satu anak buahnya.
"Kurang
ajar. Awas saja kau, kau tidak akan lepas dari tanganku" kata orang itu.
"Ayah"
mereka menoleh.
"Atsuko dan juga Rena tidak ada di kamar" orang itu mengepalkan
tangannya.
"Sial,
mereka pasti sudah tahu. Kemana kau Atsuko? Ayah akan mengejarmu" wajahnya
merah padam dan tangannya semakin mengepal.
To Be Continue........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar