Rabu, 09 Maret 2016

Story Of My Life (Chapter 02)

Title : Story Of My Life Chapter 02
Author : Rena-chan
Genre : Gender-bender, Sad, Family, Love, 

Main cast :
  • Shimazaki Haruka 
  • Shimazaki Atsuko 
  • Shimazaki Mayu 
  • Shimazaki Sakura
Support Cast :

  • Matsui Rena 
  • Takahashi Kai 
  • Yokoyama Yui 

Happy Reading All...........



~---0---~

Atsuko masuk ke dalam ruangan cafenya, disana ia melihat seorang pemuda yang tengah duduk membelakanginya. Ia tersenyum kecil dan melangkah ke arah pemuda itu. 

"Kai, kau kemarin" tanyanya secara langsung.
"Hai, dari mana saja kau?" tanya pemuda bernama Kai itu.
"Sedang makan di luar bersama temanku, untuk apa kau kemari?" tanya Atsuko balik.
"Tidak ada hanya mampir saja" Atsuko tersenyum dan duduk di kursinya sendiri.
"Ah... iya, jangan lupa dua hari lagi kita ke panti asuhan, bukankah kau ingin menyumbangkan baju dan uang kesana?" Atsuko mengangguk dengan cepat. 
"Hai, pasti aku kesana. Aku tidak akan lupa" Kai tersenyum mendengarnya.

***

~Paruru Pov~

Aku keluar dari melalui pintu belakang, melangkah pelan ke arah taman. Aku hanya sedikit tidak bisa menyimbangkan tubuhku. Kedua kakiku sama-sama bergetar, seperti biasa. Sampai di taman, aku tersenyum melihat tanaman bunga yang indah.
Kemudian aku duduk di kursi taman, dibawah pohon yang rindang. Bibirku tertarik berlawanan arah, ketika menikmati kesunyian dan pemandangan yang disajikan di sekitar taman ini. Ku harap, tidak ada yang mengangguku. Hanya taman inilah, yang membuatku sangat tentram dan hanya taman inilah tempatku untuk menyendiri dan melepas beban masalah yang selama ini, ku alami.

Aku menoleh ketika mendengar suara tawa, apa itu anak-anak nakal kemarin? Ah... jika iya, pasti aku akan di bully lagi dan lebih parahnya aku tidak akan mendapatkan kedamaian disini, pasti ujung-ujungnya air bening akan kembali menetes dari pelupuk mataku. 
Aku mencoba berdiri, kemudian aku melangkah. Aku benar-benar ingin sekali bisa berjalan seperti anak yang lain, tapi aku tidak bisa. Sering kali aku mengeluh kepada Tuhan, kenapa aku di lahirkan seperti ini. Dengan kondisi sakit dan parahnya, aku tidak bisa melakukan apa-apa. Pantas saja, keluargaku tidak ingin mengakuiku.

Tuhan, jika saja aku bisa memilih. Mungkin, aku akan memilih lebih baik aku mati saja daripada aku harus terlahir seperti ini. Ini benar-benar membuatku menderita, sangat sakit jika harus seperti ini. Dan lebih sakitnya mendapat bullyan, bukan hanya dari keluarga namun dari anak-anak yang sama sekali tidak menyukaiku.
"Ahahah.... itu gadis yang kemarin" aku bisa mendengar suara salah satu anak itu. Aku mendesah, apalagi yang akan mereka lakukan padaku?.
Aku berusaha tenang, dan aku melangkahkan kakiku dengan pelan agar keseimbanganku tidak goyah, dan aku tidak ingin mencium tanah lagi, sudah cukup kemarin beberapa kali aku harus terjatuh dan membuat luka di lututku. Aku tidak ingin lagi itu terjadi. Tuhan, tolong jauhkan anak-anak itu dariku, aku tidak ingin kejadian kemarin terulang.

Ketika aku ingin melangkah untuk kelima, mereka datang dan menghadangku. Mau apa lagi mereka ini? Tidak puaskah, mereka selalu mencari masalah denganku kemarin?. 
"To-to-lo-lo-ng Ja-ja-nga-ngan ga-gang-gu a-a-ku" mohonku pada mereka, kemudian yang dibalas tawa oleh mereka.
"Hahaha... dia gagap, cantik-catik gagap" salah satu dari mereka membullyku.
 Bugh...
Aduh... aku mengaduh ketika salah satu mereka yang berdiri dibelakangku mendorongku. Dan sekarang, mereka tertawa melihatku terjatuh kesakitan. 

"Hei... apa-apaan kalian ini" aku bisa mendengar suara seseorang dari belakang, aku tidak tahu siapa dia. Aku tidak pernah mendengar suaranya, sebelumnya. 
"Ayo kita lari" mereka lari setelah suara tadi. 
Aku mencoba bangkit, dari jatuhku. Kemudian, berusaha berbalik untuk melihat siapa suara yang menolongku tadi. 
"Daijoubu desuka?" aku menatap samar seorang pemuda yang sekarang berdiri didepanku. Aku mengangguk, membalas ucapannya. 

Kemudian, ia mengulurkan tangannya kepadaku. Dia tersenyum sambil melihatku. Senyumannya memang sangat manis, ku akui itu.

"Yokoyama Yui desu, omae namaewa?" tanyanya.
"Shi-Shi-ma-za-za-ki Ha-ha-ru-ka" balasku singkat, namun tidak sesingkat ketika aku berbicara.
"Kau gagap?" aku mengangguk lemah.
"Hei... sudah tidak perlu bersedih seperti itu" aku melihatnya lagi dengan samar.
"Bagaimana jika kita duduk disana" aku melihat tempat duduk yang ia tunjuk. Aku mengangguk membalasnya.

Dia berjalan terlebih dahulu, aku mengikuti pemuda itu dari belakang. Dia cepat sekali, aku tidak bisa mengejarnya sama sekali. Kedua kakiku sangat sakit, ketika aku memaksakan kaki ini. 
"Ah... kenapa kau tidak bilang, jika kedua kakimu juga bermasalah?" aku mendongak melihatnya yang tiba-tiba sudah berada di depanku. Aku menunduk membalasnya.
"Baiklah, ayo aku akan membimbingmu" kemudian ia membimbingku. 
 Dan sekarang, kami duduk di kursi taman ini. Ku lihat dari gaya dia berpakaian, aku yakin dia anak orang kaya. Dan dia juga sangat tampan, dia juga sangat baik. Aku tidak menyangka, jika aku akan bertemu dengan pemuda seperti dirinya. Mungkin, dia mau menjadi sahabatku. Selama ini, aku tidak pernah mempunyai sahabat sama sekali.

"Rumahmu di sekitar sini?" aku mengangguk membalasnya.
"Sedang apa kau disini?" tanya lagi.
"Ha-ha-nya me-menik-ma-ma-ti pe-pe-man-da-da-ngan" ku lihat dia mengangguk dan tersenyum membalas balasanku.
"Aku juga sebenarnya. Aku ingin mencari objek yang bisa ku gambar" jelasnya kemudian. 
"Jika aku sudah menemukan objek itu dan menggambarnya, aku ingin menjualnya. Kebetulan, keluargaku membuka sebuah toko lukisan dan lumayan dalam setahun, banyak pengunjung yang membelinya" dia hebat juga ternyata.
"Apa kau ingin membantuku? Jika nantinya aku sudah mendapatkan uang, kita bisa membagi uang hasil jerih payah kita" katanya tersenyum.
"A-a-ku ti-ti-da-dak bi-bi-sa me-me-lu-lu-kis" balasku singkat.
"Bagaimana jika aku mengajarimu saja?" aku menatapnya samar. Dia terlihat bersemangat sepertinya. 
"Ba-ba-ik a-a-ku ma-mau. La-la-gi pu-pu-la a-a-ku bu-bu-tu-tuh u-u-ang" jawabku dengan susah payah.
"Butuh uang untuk apa?" tanyanya lagi.
"U-un-tu-tuk hi-hi-du-dup-ku se-sen-di-di-ri" jawabku dan dia mengangguk.
"Kau hidup sendiri?" aku mengangguk. 

Memang seperti itu kenyataannya, jika aku memang hidup sendiri. Keluargaku tidak menganggapku, mereka tidak pernah berbicara, melihatku saja tidak pernah. Itu berarti, aku sendiri bukan? Aku tidak memiliki apa-apa.
"Bagaimana jika kita pergi sekarang?" aku kembali mengangguk.
Lebih baik aku ikut dengannya, melakukan hal positif. Daripada harus, aku terus menerus di rumah dan melihat keluargaku tersenyum bahagia tanpa adanya aku di tengah-tengah mereka. 

Aku duduk di sebelahnya, dia menghidupkan mesin mobilnya. Entah kenapa, aku percaya dengannya. Ketika aku melihat matanya tadi, aku tidak menemukan tanda-tanda kebohongan sama sekali dari matanya. 
Dia keluar setelah kami sampai di sebuah gedung, mungkin toko lukisannya. Aku menoleh, ketika ada yang membuka pintu mobil. Dia membantuku untuk keluar dari mobilnya, dan kemudian kami melangkah masuk ke dalam toko itu.

"Haruka, ini toko lukisanku" aku tersenyum membalas ucapannya.
"Yo-yo-ko..,-" ucapanku terpotong olehnya.
"Kau bisa memanggilku Yui, jangan terlalu formal. Aku juga tahu, pasti kau akan sangat sulit jika memanggilku dengan Yokoyama" aku mengangguk dan tersenyum.
"Yu-Yui-ku-kun, a-a-pa ya-yang ha-ha-ru-rus a-a-ku la-ku-ku-kan?" tanyaku langsung padanya.
"Sepertinya yang ku bilang tadi, aku akan mengajarimu melukis" aku mengangguk dan kembali tersenyum. Dia memang pemuda yang sangat baik sekali.
"Y-Yui-ku-kun, k-kau bi-bi-sa me-me-mang-nggil-ku Pa-Pa-ru-ru" ucapku padanya.
"Paruru?" aku mengangguk dan tersenyum.
"Nama panggilanmu?" aku kembali mengangguk.
"Baiklah, mulai sekarang aku memanggilmu Paruru" aku tersenyum mendengarnya. 

Aku hanya tidak ingin ada orang yang memanggilku Haruka, karena nama itu selalu mengingatkanku kepada keluargaku yang selalu sering menganggapku tidak ada. Dan mereka selalu melecehkanku dengan menyebut namaku yang itu.
Sedangkan Paruru, nama panggilan itu sebenarnya aku hanya iseng mencarinya. Dan keluargaku sama sekali tidak tahu, jika aku di panggil Paruru. Bahkan, Rena saja yang tahu masih saja memanggilku Haruka. Tapi, ku suruh saja dia diam agar dia tidak berbicara kepada keluargaku, jika aku mempunyai nama panggilan ini.

Aku dan Yui masuk ke dalam sebuah ruangan. Ruangan ini tidak terlalu luas, di dalamnya terdapat alat lukisan dan itu lengkap, di dinding terdapat lukisan yang sangat indah dan bagus. Sangat cantik, sebuah lukisan alam dengan sawah hijau yang terbentang luas dan terdapat gunung disana. Sungguh sangat cantik. Mengangumkan.

"Kau menyukainya Paruru?" aku mengangguk dengan antusias.
"Ini adalah gambaranku yang pernah ku pamerkan dulu, dan ternyata aku menang dalam acara itu, aku hanya tidak menyangka aku bisa berhasil" aku benar-benar kagum dengannya. Ingin rasanya, aku seperti dia. 

Dia menyuruhku untuk duduk di sebelahnya. Dan sekarang aku melihatnya yang mulai melukis di lembaran kosong itu. Dia menggambar sketsa dasarnya, dan kemudian dia menyambungkan garis satu dengan garis-garis lainnya. Dan dia juga memberi warna untuk gambarannya, dan tidak ada waktu 15 menit lukisannya jadi.
Sebuah gunung dengan dibawahnya terdapat sungai, dengan beberapa orang yang tengah berada di sungai itu mencari ikan. Dengan di samping sungai itu, terdapat sebuah sawah berwarna hijau dan beberapa orang yang tengah memetik padi. Sangat cantik dan sangat mengagumkan, aku benar-benar takjub dengan lukisan yang ia buat ini, seperti sangat nyata. Dia memang pandai dalam hal melukis sepertinya. 

"Kau ingin mencobanya, Paruru?" aku mengangguk.
Dia menyodorkan kuasnya, aku mengambilnya. Kemudian ia bangkit dan mengganti lembaran yang masih kosong. Dia kembali duduk di sebelahku. 
"A-a-ku bi-bi-ngu-ngung, a-a-ku ti-ti-da-dak bi-bi-sa meng-ga-gam-ba-bar" kataku lesu dengan lesu.

Dia meraih tanganku, dan membimbingku untuk melukis. Sketsa-sketsa yang ku lihat karena bimbingannya, menjadi lebih teratur daripada ketika aku menggambar sendiri, sesekali juga dia melepas dan kembali membimbingku untuk melukis, karena memang aku benar-benar membutuhkan bantuannya.
Setelah itu, dia kembali membimbingku untuk memberi warna yang cocok pada gambar yang ku buat ini, atau lebih tepatnya ia yang membuatnya. Karena dialah yang membimbingku, dan aku sangat menyukai gambaran yang sudah ku lukis ini dengannya. 

Lukisan pemandangan laut dengan kapal di laut itu yang tengah berlayar, dan dengan warna biru laut dan warna kecoklatan pada kapal itu. Aku tersenyum lebar, ketika melihat hasil jerih payahku dan Yui. Aku benar-benar senang, melihat hasilnya yang cukup memuaskan. 
"Bagaimana, kau suka?" aku mengangguk membalasnya.
"A-a-ri-ga-ga-tou" dia mengangguk dan tersenyum.
"Aku yakin banyak yang suka. Seminggu lagi ada pameran lukisan kau datang ya, aku akan menjemputmu" ucapnya dan aku mengangguk antusias.
"Di-di-ta-ta-man ya, ke-ke-te-mu-mu-an-nya?" dia mengangguk.
"Baik, sebelum itu kita juga harus terus melukis seperti ini bagaimana?" aku kembali mengangguk.
"A-a-ku sa-sa-nga-ngat i-ing-ngin bi-bi-sa me-me-lu-ki-kis se-se-per-ti-ti-mu" dia tersenyum .
"Aku akan mengajarkanmu, tenang saja" aku kembali tersenyum mendengarnya. Benar-benar sangat beruntung hari ini, bisa bertemu dengan pemuda sepertinya. 

***

~Author Pov~

Rena berdiri di depan pintu dapur yang menghubungakan langsung ke belakang yang mengarah ke taman. Tadi, Rena sudah pergi ke taman untuk menjemput Paruru, namun gadis itu tidak ada di taman. Dia benar-benar khawatir dengan gadis itu, ia takut terjadi sesuatu pada gadis itu. 
Sedari tadi juga, dia terus menggerutu di dalam hatinya. Ia ceroboh membiarkan Paruru pergi sendiri, dan sekarang dia tidak tahu dimana keberadaan gadis itu. Ia berharap bahwa keadaan Paruru baik-baik saja.

Jam sudah menunjukan pukul 9 malam, namun gadis itu belum juga kembali. Rena kembali masuk dan duduk di dapur, menunggu dengan setia sampai nanti Paruru pulang. 
Dan akhirnya ia sendiri tertidur, ketika jam menunjukan jam setengah 10 malam. Dia sedikit kelelahan karena tadi telah melayani keluarga Shimazaki itu. 

Di luar, dengan tertatih Paruru melangkahkan kakinya. Ia sampai di depan pintu berwarna putih yang menghubungakn dengan dapur. Ia memutar pelan pintu berwarna putih itu, dan setelah terbuka ia masuk dan kembali menutup pintu itu.
Ia melihat Rena yang tertidur dengan pulas sambil duduk dengan kepala yang ia taruh di meja. Paruru mendekat, ia tahu Rena pasti menunggu kedatangannya. Ia juga tidak menyangka, jika ia akan pulang selarut ini. Tapi, demi kesenangannya bersama Yui tadi, ia rela pulang malam seperti ini demi belajar melukis dengan pemuda bermarga Yokoyama itu.

Ia menoleh ketika ia mendengar suara langkah kaki, ia melihat kakak pertamanya yang sekarang melangkah ke arah dapur. Ia menunduk, ia takut melihat tatapan mata kakaknya yang terbilang sangat datar itu.
Dilihatnya sang kakak yang membuka pintu kulkas, kemudian Atsuko mengambil minuman didalamnya. Dan setelah itu, kakak pertamanya itu mengambil gelas dan menuangkan minuman itu didalamnya. Kemudian, Atsuko meminumnya.
"O-one-ne-chan" lirihnya dengan sedih melihat kakak pertamanya itu.
Dia sangat merindukan kakak pertamanya itu, dulu ketika dia kecil Atsuko sangat menyayanginya dan sekarang semua itu hanyalah kenangan untuknya, semua itu hilang dalam sekejap. Ia terlalu merindukan suasana itu dengan kakak dan adiknya, ketika dulu mereka bermain bersama.

Paruru kembali melihat kakaknya, dan sekarang secara tidak sengaja kedua mata kakak beradik itu bertemu. Paruru dengan tatapan sedihnya sedangkan Atsuko dengan tatapan datarnya, mereka seperti orang yang baru saja bertemu. Tidak saling sapa satu sama lain seperti yang biasa mereka lakukan dulu ketika kecil, semua itu sekarang sudah menjadi kenangan untuk Paruru.

"Untuk apa kau melihatku seperti itu?" suara Atsuko keluar, membuat Paruru menundukan kepalanya.
"Jika kau masih berharap kita seperti dulu, mungkin kau hanya bermimpi. Dan mungkin, benar apa kata ayah dan ibu, kau itu benar-benar tidak berguna, Haruka" Paruru semakin menundukan kepalanya dan berusaha menahan tangisnya agar tidak keluar.
"A-aku ti-ti-da-dak pe-per-na-nah ber-fi-fi-ki-ra-ran se-se-per-ti i-i-tu. A-a-ku ta-ta-hu a-a-ku ha-ha-nya ga-ga-dis ya-yang se-se-la-la-lu me-me-nyu-nyu-sah-ka-kan ka-ka-li-li-an" ucap Paruru lirih.
"A-a-ku ta-ta-hu si-si-a-pa a-a-ku se-se-ka-ka-ra-rang. Bo-bo-doh ji-ji-ka a-aku me-me-ngi-ngin-ka-kan ki-ki-ta se-se-per-ti du-du-lu" kata Paruru menyambung ucapannya.
"Ta-ta-pi sa-sam-pa-pai ka-pa-pan-pun a-a-ku a-a-ka-kan te-te-ta-tap sa-sa-ya-yang pa-pada ka-ka-li-li-an, me-meski ka-ka-li-lian mem-ben-ci-ci-ku" sakit yang ia rasakan sungguh benar-benar besar.

Paruru kembali berjalan, ia melangkah masuk ke dalam tempat tidurnya. Atsuko, dia terdiam ketika ia sudah mendengar penjelasan adiknya yang malang itu. Dia memegang dadanya yang ia rasakan sangat sakit, ketika mendengan penjelasan Paruru. 
Dadanya benar-benar sangat sakit, ketika mendengar penjelasan dari Paruru tadi. Paruru juga berbicara dengan kedua matanya yang berusaha mempertahankan air matanya agar tidak terjatuh. Matanya sangat bening dan Atsuko juga menyadarinya tadi. 

Apa sejahat itukah dia? Sehingga membuat adiknya itu harus sakit seperti itu? Kenapa rasanya ia juga sangat sakit, ketika melihat Paruru seperti itu?. dulu dia sangat menyayangi Paruru, tapi sekarang apa perasaan itu hilang begitu saja, ketika kedua orang tua mereka menyuruhnya untuk menjauhi adiknya yang memiliki banyak kekuarangan itu.
"Kenapa dadaku bisa sesakit ini? Ada apa denganku?" tanyanya pada dirinya sendiri. 
Atsuko menoleh ke arah Rena yang masih tertidur, ia membangunkan gadis itu. Tak lama, gadis itu terbangun. 

"Kenapa kau tidur disini?" tanya Atsuko.
"Menunggu nona Haruka pulang nona, tadi dia keluar tapi belum juga kembali" kata Rena membalas pertanyaanya.
"Dia sudah pulang dan dia sudah ada di kamar. Suruh dia makan, nanti dia pasti sakit jika dia tidak makan" kata Atsuko menyuruh.
"Nona Haruka tidak sering makan nasi nona, dia hanya memakan roti dan susu, dan itupun tidak sering maka dari itu, nona akhir-akhir ini kurus, aku saja pernah mencoba membujuknya tapi, ia tetap tidak mau" kata Rena yang membuat Atsuko terdiam.

Kenapa dia bisa melakukan semua itu? Atsuko bertanya dalam hatinya, ia tidak pernah menyangka jika Paruru akan berbuat seperti itu. Bahkan ia tidak sadar sama sekali, jika Paruru akhir-akhir ini kurus. Apa karena, ia memang tidak terlalu sering memperhatikan adik ketiganya, apa hatinya sudah tertutup untuk adiknya yang malang itu.
Tuhan, sejahat itukah dia pada adik ketiganya itu? sampai dia tidak sadar, dengan aktifitas yang selama ini Paruru lakukan? Hingga, adik ketiganya itu sama sekali tidak pernah makan sama sekali, dan adiknya saja tidak terlalu sering makan roti dan susu yang selalu di buat oleh Rena.
"Suruh saja dia makan sekarang, jika tidak ia akan sakit. Jika dia tidak mau juga, bilang jika aku yang menyuruhmu" Rena mengangguk mendengarnya.
Setelah itu, dia bisa melihat Atsuko yang keluar dari dapur dan menuju kamarnya untuk beristirahat. 




To Be Continue.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar