Title
: Story Of My Life Chapter 02
Author
: Rena-chan
Genre
: Gender-bender, Sad, Family, Love,
Main
cast :
- Shimazaki Haruka
- Shimazaki Atsuko
- Shimazaki Mayu
- Shimazaki Sakura
Support
Cast :
- Matsui Rena
- Takahashi Kai
- Yokoyama Yui
Happy Reading All...........
~---0---~
Atsuko
masuk ke dalam ruangan cafenya, disana ia melihat seorang pemuda yang tengah
duduk membelakanginya. Ia tersenyum kecil dan melangkah ke arah pemuda
itu.
"Kai, kau kemarin" tanyanya secara langsung.
"Hai, dari mana saja kau?" tanya pemuda bernama Kai
itu.
"Sedang makan di luar bersama temanku, untuk apa kau
kemari?" tanya Atsuko balik.
"Tidak ada hanya mampir saja" Atsuko tersenyum dan
duduk di kursinya sendiri.
"Ah... iya, jangan lupa dua hari lagi kita ke panti
asuhan, bukankah kau ingin menyumbangkan baju dan uang kesana?" Atsuko
mengangguk dengan cepat.
"Hai, pasti aku kesana. Aku tidak akan lupa" Kai
tersenyum mendengarnya.
***
~Paruru Pov~
Aku keluar dari melalui pintu belakang, melangkah pelan ke
arah taman. Aku hanya sedikit tidak bisa menyimbangkan tubuhku. Kedua kakiku
sama-sama bergetar, seperti biasa. Sampai di taman, aku tersenyum melihat
tanaman bunga yang indah.
Kemudian aku duduk di kursi taman, dibawah pohon yang
rindang. Bibirku tertarik berlawanan arah, ketika menikmati kesunyian dan
pemandangan yang disajikan di sekitar taman ini. Ku harap, tidak ada yang
mengangguku. Hanya taman inilah, yang membuatku sangat tentram dan hanya taman
inilah tempatku untuk menyendiri dan melepas beban masalah yang selama ini, ku
alami.
Aku menoleh ketika mendengar suara tawa, apa itu anak-anak
nakal kemarin? Ah... jika iya, pasti aku akan di bully lagi dan lebih parahnya
aku tidak akan mendapatkan kedamaian disini, pasti ujung-ujungnya air bening
akan kembali menetes dari pelupuk mataku.
Aku mencoba berdiri, kemudian aku melangkah. Aku benar-benar
ingin sekali bisa berjalan seperti anak yang lain, tapi aku tidak bisa. Sering
kali aku mengeluh kepada Tuhan, kenapa aku di lahirkan seperti ini. Dengan
kondisi sakit dan parahnya, aku tidak bisa melakukan apa-apa. Pantas saja,
keluargaku tidak ingin mengakuiku.
Tuhan, jika saja aku bisa memilih. Mungkin, aku akan memilih
lebih baik aku mati saja daripada aku harus terlahir seperti ini. Ini
benar-benar membuatku menderita, sangat sakit jika harus seperti ini. Dan lebih
sakitnya mendapat bullyan, bukan hanya dari keluarga namun dari anak-anak yang
sama sekali tidak menyukaiku.
"Ahahah.... itu gadis yang kemarin" aku bisa
mendengar suara salah satu anak itu. Aku mendesah, apalagi yang akan mereka
lakukan padaku?.
Aku berusaha tenang, dan aku melangkahkan kakiku dengan pelan
agar keseimbanganku tidak goyah, dan aku tidak ingin mencium tanah lagi, sudah
cukup kemarin beberapa kali aku harus terjatuh dan membuat luka di lututku. Aku
tidak ingin lagi itu terjadi. Tuhan, tolong jauhkan anak-anak itu dariku, aku
tidak ingin kejadian kemarin terulang.
Ketika aku ingin melangkah untuk kelima, mereka datang dan
menghadangku. Mau apa lagi mereka ini? Tidak puaskah, mereka selalu mencari
masalah denganku kemarin?.
"To-to-lo-lo-ng Ja-ja-nga-ngan ga-gang-gu a-a-ku"
mohonku pada mereka, kemudian yang dibalas tawa oleh mereka.
"Hahaha... dia gagap, cantik-catik gagap" salah satu
dari mereka membullyku.
Aduh... aku mengaduh ketika salah satu mereka yang berdiri
dibelakangku mendorongku. Dan sekarang, mereka tertawa melihatku terjatuh
kesakitan.
"Hei... apa-apaan kalian ini" aku bisa mendengar
suara seseorang dari belakang, aku tidak tahu siapa dia. Aku tidak pernah
mendengar suaranya, sebelumnya.
"Ayo kita lari" mereka lari setelah suara
tadi.
Aku mencoba bangkit, dari jatuhku. Kemudian, berusaha
berbalik untuk melihat siapa suara yang menolongku tadi.
"Daijoubu desuka?" aku menatap samar seorang pemuda
yang sekarang berdiri didepanku. Aku mengangguk, membalas ucapannya.
Kemudian, ia mengulurkan tangannya kepadaku. Dia tersenyum
sambil melihatku. Senyumannya memang sangat manis, ku akui itu.
"Yokoyama Yui desu, omae namaewa?" tanyanya.
"Shi-Shi-ma-za-za-ki Ha-ha-ru-ka" balasku singkat,
namun tidak sesingkat ketika aku berbicara.
"Kau gagap?" aku mengangguk lemah.
"Hei... sudah tidak perlu bersedih seperti itu" aku
melihatnya lagi dengan samar.
"Bagaimana jika kita duduk disana" aku melihat
tempat duduk yang ia tunjuk. Aku mengangguk membalasnya.
Dia berjalan terlebih dahulu, aku mengikuti pemuda itu dari
belakang. Dia cepat sekali, aku tidak bisa mengejarnya sama sekali. Kedua
kakiku sangat sakit, ketika aku memaksakan kaki ini.
"Ah... kenapa kau tidak bilang, jika kedua kakimu juga
bermasalah?" aku mendongak melihatnya yang tiba-tiba sudah berada di
depanku. Aku menunduk membalasnya.
"Baiklah, ayo aku akan membimbingmu" kemudian ia
membimbingku.
"Rumahmu di sekitar sini?" aku mengangguk
membalasnya.
"Sedang apa kau disini?" tanya lagi.
"Ha-ha-nya me-menik-ma-ma-ti pe-pe-man-da-da-ngan"
ku lihat dia mengangguk dan tersenyum membalas balasanku.
"Aku juga sebenarnya. Aku ingin mencari objek yang bisa
ku gambar" jelasnya kemudian.
"Jika aku sudah menemukan objek itu dan menggambarnya,
aku ingin menjualnya. Kebetulan, keluargaku membuka sebuah toko lukisan dan
lumayan dalam setahun, banyak pengunjung yang membelinya" dia hebat juga
ternyata.
"Apa kau ingin membantuku? Jika nantinya aku sudah
mendapatkan uang, kita bisa membagi uang hasil jerih payah kita" katanya
tersenyum.
"A-a-ku ti-ti-da-dak bi-bi-sa me-me-lu-lu-kis"
balasku singkat.
"Bagaimana jika aku mengajarimu saja?" aku
menatapnya samar. Dia terlihat bersemangat sepertinya.
"Ba-ba-ik a-a-ku ma-mau. La-la-gi pu-pu-la a-a-ku
bu-bu-tu-tuh u-u-ang" jawabku dengan susah payah.
"Butuh uang untuk apa?" tanyanya lagi.
"U-un-tu-tuk hi-hi-du-dup-ku se-sen-di-di-ri"
jawabku dan dia mengangguk.
"Kau hidup sendiri?" aku mengangguk.
Memang seperti itu kenyataannya, jika aku memang hidup
sendiri. Keluargaku tidak menganggapku, mereka tidak pernah berbicara,
melihatku saja tidak pernah. Itu berarti, aku sendiri bukan? Aku tidak memiliki
apa-apa.
"Bagaimana jika kita pergi sekarang?" aku kembali
mengangguk.
Lebih baik aku ikut dengannya, melakukan hal positif.
Daripada harus, aku terus menerus di rumah dan melihat keluargaku tersenyum bahagia
tanpa adanya aku di tengah-tengah mereka.
Aku duduk di sebelahnya, dia menghidupkan mesin mobilnya.
Entah kenapa, aku percaya dengannya. Ketika aku melihat matanya tadi, aku tidak
menemukan tanda-tanda kebohongan sama sekali dari matanya.
Dia keluar setelah kami sampai di sebuah gedung, mungkin toko
lukisannya. Aku menoleh, ketika ada yang membuka pintu mobil. Dia membantuku
untuk keluar dari mobilnya, dan kemudian kami melangkah masuk ke dalam toko
itu.
"Haruka, ini toko lukisanku" aku tersenyum membalas
ucapannya.
"Yo-yo-ko..,-" ucapanku terpotong olehnya.
"Kau bisa memanggilku Yui, jangan terlalu formal. Aku
juga tahu, pasti kau akan sangat sulit jika memanggilku dengan Yokoyama"
aku mengangguk dan tersenyum.
"Yu-Yui-ku-kun, a-a-pa ya-yang ha-ha-ru-rus a-a-ku
la-ku-ku-kan?" tanyaku langsung padanya.
"Sepertinya yang ku bilang tadi, aku akan mengajarimu
melukis" aku mengangguk dan kembali tersenyum. Dia memang pemuda yang
sangat baik sekali.
"Y-Yui-ku-kun, k-kau bi-bi-sa me-me-mang-nggil-ku
Pa-Pa-ru-ru" ucapku padanya.
"Paruru?" aku mengangguk dan tersenyum.
"Nama panggilanmu?" aku kembali mengangguk.
"Baiklah, mulai sekarang aku memanggilmu Paruru"
aku tersenyum mendengarnya.
Aku hanya tidak ingin ada orang yang memanggilku Haruka,
karena nama itu selalu mengingatkanku kepada keluargaku yang selalu sering
menganggapku tidak ada. Dan mereka selalu melecehkanku dengan menyebut namaku
yang itu.
Sedangkan Paruru, nama panggilan itu sebenarnya aku hanya
iseng mencarinya. Dan keluargaku sama sekali tidak tahu, jika aku di panggil
Paruru. Bahkan, Rena saja yang tahu masih saja memanggilku Haruka. Tapi, ku
suruh saja dia diam agar dia tidak berbicara kepada keluargaku, jika aku
mempunyai nama panggilan ini.
Aku dan Yui masuk ke dalam sebuah ruangan. Ruangan ini tidak
terlalu luas, di dalamnya terdapat alat lukisan dan itu lengkap, di dinding
terdapat lukisan yang sangat indah dan bagus. Sangat cantik, sebuah lukisan
alam dengan sawah hijau yang terbentang luas dan terdapat gunung disana.
Sungguh sangat cantik. Mengangumkan.
"Kau menyukainya Paruru?" aku mengangguk dengan
antusias.
"Ini adalah gambaranku yang pernah ku pamerkan dulu, dan
ternyata aku menang dalam acara itu, aku hanya tidak menyangka aku bisa
berhasil" aku benar-benar kagum dengannya. Ingin rasanya, aku seperti
dia.
Dia menyuruhku untuk duduk di sebelahnya. Dan sekarang aku
melihatnya yang mulai melukis di lembaran kosong itu. Dia menggambar sketsa
dasarnya, dan kemudian dia menyambungkan garis satu dengan garis-garis lainnya.
Dan dia juga memberi warna untuk gambarannya, dan tidak ada waktu 15 menit
lukisannya jadi.
Sebuah gunung dengan dibawahnya terdapat sungai, dengan
beberapa orang yang tengah berada di sungai itu mencari ikan. Dengan di samping
sungai itu, terdapat sebuah sawah berwarna hijau dan beberapa orang yang tengah
memetik padi. Sangat cantik dan sangat mengagumkan, aku benar-benar takjub
dengan lukisan yang ia buat ini, seperti sangat nyata. Dia memang pandai dalam
hal melukis sepertinya.
"Kau ingin mencobanya, Paruru?" aku mengangguk.
Dia menyodorkan kuasnya, aku mengambilnya. Kemudian ia
bangkit dan mengganti lembaran yang masih kosong. Dia kembali duduk di
sebelahku.
"A-a-ku bi-bi-ngu-ngung, a-a-ku ti-ti-da-dak bi-bi-sa
meng-ga-gam-ba-bar" kataku lesu dengan lesu.
Dia meraih tanganku, dan membimbingku untuk melukis.
Sketsa-sketsa yang ku lihat karena bimbingannya, menjadi lebih teratur daripada
ketika aku menggambar sendiri, sesekali juga dia melepas dan kembali
membimbingku untuk melukis, karena memang aku benar-benar membutuhkan
bantuannya.
Setelah itu, dia kembali membimbingku untuk memberi warna
yang cocok pada gambar yang ku buat ini, atau lebih tepatnya ia yang
membuatnya. Karena dialah yang membimbingku, dan aku sangat menyukai gambaran
yang sudah ku lukis ini dengannya.
Lukisan pemandangan laut dengan kapal di laut itu yang tengah
berlayar, dan dengan warna biru laut dan warna kecoklatan pada kapal itu. Aku
tersenyum lebar, ketika melihat hasil jerih payahku dan Yui. Aku benar-benar senang,
melihat hasilnya yang cukup memuaskan.
"Bagaimana, kau suka?" aku mengangguk membalasnya.
"A-a-ri-ga-ga-tou" dia mengangguk dan tersenyum.
"Aku yakin banyak yang suka. Seminggu lagi ada pameran
lukisan kau datang ya, aku akan menjemputmu" ucapnya dan aku mengangguk
antusias.
"Di-di-ta-ta-man ya, ke-ke-te-mu-mu-an-nya?" dia
mengangguk.
"Baik, sebelum itu kita juga harus terus melukis seperti
ini bagaimana?" aku kembali mengangguk.
"A-a-ku sa-sa-nga-ngat i-ing-ngin bi-bi-sa
me-me-lu-ki-kis se-se-per-ti-ti-mu" dia tersenyum .
"Aku akan mengajarkanmu, tenang saja" aku kembali
tersenyum mendengarnya. Benar-benar sangat beruntung hari ini, bisa bertemu
dengan pemuda sepertinya.
***
~Author
Pov~
Rena berdiri di depan pintu dapur yang menghubungakan
langsung ke belakang yang mengarah ke taman. Tadi, Rena sudah pergi ke taman
untuk menjemput Paruru, namun gadis itu tidak ada di taman. Dia benar-benar
khawatir dengan gadis itu, ia takut terjadi sesuatu pada gadis itu.
Sedari tadi juga, dia terus menggerutu di dalam hatinya. Ia
ceroboh membiarkan Paruru pergi sendiri, dan sekarang dia tidak tahu dimana
keberadaan gadis itu. Ia berharap bahwa keadaan Paruru baik-baik saja.
Jam sudah menunjukan pukul 9 malam, namun gadis itu belum
juga kembali. Rena kembali masuk dan duduk di dapur, menunggu dengan setia
sampai nanti Paruru pulang.
Dan akhirnya ia sendiri tertidur, ketika jam menunjukan jam
setengah 10 malam. Dia sedikit kelelahan karena tadi telah melayani keluarga
Shimazaki itu.
Di luar, dengan tertatih Paruru melangkahkan kakinya. Ia
sampai di depan pintu berwarna putih yang menghubungakn dengan dapur. Ia
memutar pelan pintu berwarna putih itu, dan setelah terbuka ia masuk dan
kembali menutup pintu itu.
Ia melihat Rena yang tertidur dengan pulas sambil duduk
dengan kepala yang ia taruh di meja. Paruru mendekat, ia tahu Rena pasti
menunggu kedatangannya. Ia juga tidak menyangka, jika ia akan pulang selarut
ini. Tapi, demi kesenangannya bersama Yui tadi, ia rela pulang malam seperti
ini demi belajar melukis dengan pemuda bermarga Yokoyama itu.
Ia menoleh ketika ia mendengar suara langkah kaki, ia melihat
kakak pertamanya yang sekarang melangkah ke arah dapur. Ia menunduk, ia takut
melihat tatapan mata kakaknya yang terbilang sangat datar itu.
Dilihatnya sang kakak yang membuka pintu kulkas, kemudian
Atsuko mengambil minuman didalamnya. Dan setelah itu, kakak pertamanya itu
mengambil gelas dan menuangkan minuman itu didalamnya. Kemudian, Atsuko
meminumnya.
"O-one-ne-chan"
lirihnya dengan sedih melihat kakak pertamanya itu.
Dia sangat merindukan kakak pertamanya itu, dulu ketika dia
kecil Atsuko sangat menyayanginya dan sekarang semua itu hanyalah kenangan
untuknya, semua itu hilang dalam sekejap. Ia terlalu merindukan suasana itu
dengan kakak dan adiknya, ketika dulu mereka bermain bersama.
Paruru kembali melihat kakaknya, dan sekarang secara tidak
sengaja kedua mata kakak beradik itu bertemu. Paruru dengan tatapan sedihnya
sedangkan Atsuko dengan tatapan datarnya, mereka seperti orang yang baru saja
bertemu. Tidak saling sapa satu sama lain seperti yang biasa mereka lakukan
dulu ketika kecil, semua itu sekarang sudah menjadi kenangan untuk Paruru.
"Untuk apa kau melihatku seperti itu?" suara Atsuko
keluar, membuat Paruru menundukan kepalanya.
"Jika kau masih berharap kita seperti dulu, mungkin kau
hanya bermimpi. Dan mungkin, benar apa kata ayah dan ibu, kau itu benar-benar
tidak berguna, Haruka" Paruru semakin menundukan kepalanya dan berusaha
menahan tangisnya agar tidak keluar.
"A-aku ti-ti-da-dak pe-per-na-nah ber-fi-fi-ki-ra-ran
se-se-per-ti i-i-tu. A-a-ku ta-ta-hu a-a-ku ha-ha-nya ga-ga-dis ya-yang
se-se-la-la-lu me-me-nyu-nyu-sah-ka-kan ka-ka-li-li-an" ucap Paruru lirih.
"A-a-ku ta-ta-hu si-si-a-pa a-a-ku se-se-ka-ka-ra-rang.
Bo-bo-doh ji-ji-ka a-aku me-me-ngi-ngin-ka-kan ki-ki-ta se-se-per-ti
du-du-lu" kata Paruru menyambung ucapannya.
"Ta-ta-pi sa-sam-pa-pai ka-pa-pan-pun a-a-ku a-a-ka-kan
te-te-ta-tap sa-sa-ya-yang pa-pada ka-ka-li-li-an, me-meski ka-ka-li-lian
mem-ben-ci-ci-ku" sakit yang ia rasakan sungguh benar-benar besar.
Paruru kembali berjalan, ia melangkah masuk ke dalam tempat
tidurnya. Atsuko, dia terdiam ketika ia sudah mendengar penjelasan adiknya yang
malang itu. Dia memegang dadanya yang ia rasakan sangat sakit, ketika mendengan
penjelasan Paruru.
Dadanya benar-benar sangat sakit, ketika mendengar penjelasan
dari Paruru tadi. Paruru juga berbicara dengan kedua matanya yang berusaha
mempertahankan air matanya agar tidak terjatuh. Matanya sangat bening dan
Atsuko juga menyadarinya tadi.
Apa sejahat itukah dia? Sehingga membuat adiknya itu harus
sakit seperti itu? Kenapa rasanya ia juga sangat sakit, ketika melihat Paruru
seperti itu?. dulu dia sangat menyayangi Paruru, tapi sekarang apa perasaan itu
hilang begitu saja, ketika kedua orang tua mereka menyuruhnya untuk menjauhi
adiknya yang memiliki banyak kekuarangan itu.
"Kenapa
dadaku bisa sesakit ini? Ada apa denganku?" tanyanya pada dirinya
sendiri.
Atsuko menoleh ke arah Rena yang masih tertidur, ia
membangunkan gadis itu. Tak lama, gadis itu terbangun.
"Kenapa kau tidur disini?" tanya Atsuko.
"Menunggu nona Haruka pulang nona, tadi dia keluar tapi
belum juga kembali" kata Rena membalas pertanyaanya.
"Dia sudah pulang dan dia sudah ada di kamar. Suruh dia
makan, nanti dia pasti sakit jika dia tidak makan" kata Atsuko menyuruh.
"Nona Haruka tidak sering makan nasi nona, dia hanya
memakan roti dan susu, dan itupun tidak sering maka dari itu, nona akhir-akhir
ini kurus, aku saja pernah mencoba membujuknya tapi, ia tetap tidak mau"
kata Rena yang membuat Atsuko terdiam.
Kenapa dia bisa melakukan semua itu? Atsuko bertanya dalam
hatinya, ia tidak pernah menyangka jika Paruru akan berbuat seperti itu. Bahkan
ia tidak sadar sama sekali, jika Paruru akhir-akhir ini kurus. Apa karena, ia
memang tidak terlalu sering memperhatikan adik ketiganya, apa hatinya sudah
tertutup untuk adiknya yang malang itu.
Tuhan, sejahat itukah dia pada adik ketiganya itu? sampai dia
tidak sadar, dengan aktifitas yang selama ini Paruru lakukan? Hingga, adik
ketiganya itu sama sekali tidak pernah makan sama sekali, dan adiknya saja
tidak terlalu sering makan roti dan susu yang selalu di buat oleh Rena.
"Suruh saja dia makan sekarang, jika tidak ia akan
sakit. Jika dia tidak mau juga, bilang jika aku yang menyuruhmu" Rena
mengangguk mendengarnya.
Setelah itu, dia bisa melihat Atsuko yang keluar dari dapur
dan menuju kamarnya untuk beristirahat.
To Be Continue.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar